Archives - Page 2

  • IMAJI
    No. 3 (2007)

    Jurnal IMAJI mewadahi kumpulan berbagai topik kajian film/audio visual yang berisi gagasan, penelitian, maupun pandangan kritis, segar, dan inovatif mengenai perkembangan fenomenal perfilman khususnya dan audio visual pada umumnya. Jurnal ini bertujuan untuk memberikan sumbangan penelitian terhadap medium film serta audio visual yang diharapkan dapat mendorong perkembangan perfilman, termasuk fotografi, televisi dan media baru di Indonesia, agar menjadi unggul dan kompetitif di tingkat nasional dan di dunia internasional.

  • Dimana Posisi Kritik Sinema Indonesia?
    No. 2 (2006)

    Slogan-slogan Ayo Membaca seringkali membuat kerut dahi, bahkan seringkali tak disentuh tindakan sarna sekali, terutama oleh masyarakat non-pembaca (baca; malas membaca). Alasan tidak tersedianya buku, harga yang mahal ataupun sulitnya menemukan buku termasuk karena langka dan sebagainya, menjadi dalih yang membuat bahasa tulisan kerap hanya sebagai pengisi halaman buku, majalah, jumal, terutama jika sudah mengklaim sebagai "sesuatu yang ilmiah".

    Lain lagi ketika mulai membaca, tulisan yang terpapar terlalu "berat" untuk dicerna bahkan untuk sekedar dipahami, akan dibuang jauh-jauh oleh masyarakat yang memang kondisinya belum berkeinginan untuk menjadi "pintar".

    Hal-hal tadi mungkin problem yang cukup mendasar dalam membiasakan diri untuk membaca , apapun bentuknya, buku, surat kabar, majalah, ataupun sekedar kertas pembungkus yang ditemui di sembarang jalan.

    Fakultas Film dan Televisi IKJ yang konon banyak melahirkan "pekerja" film, dan nyatanya berhasil di "dunia kreatif' film dan televisi, seharusnya bisa melebarkan konsep akademisnya. Dengan kegemilangan hasil Festival Film Indonesia 2005 dimana hampir semua lulusan fakultas ini memperoleh penghargaan tertinggi semacam kategori film terbaik (GIE -Sutradara Riri Riza), sutradara terbaik (Hanung Bramantyo), sinematografi terbaik (Yudi Datau) , editor terbaik (Yoga K. Koesprapto), penata suara terbaik (Asifa Nasution dan Adi Molana), film dokumenter terbaik (IGP Wiranegara) dan sebagainya, konsep akademis "menciptakan pekerja" film yang bermutu barangkali bukan menjadi target utama.

    Sudah saatnya dalam mengiringi keberhasilan "kerja membuat film", para lulusan fakultas ini kelak sanggup juga "membaca film" artinya dengan perangkat teori teori dan analisa kritis yang dimilikinya, film bukan lagi ditempatkan sebagai media elektronis semata, tapi bisa menjadi sebuah konsep budaya dan bisa didiskusikan secara ilmiah. Langkah awal dengan membuka program S2 di Fakultas Film dan Televisi IKJ dalam waktu dekat ini barangkali patut didukung.

    Dalam jumal ini kami mencoba menawarkan pembaca (siapapun) untuk berpikir dan melepaskan beban-beban dan asumsi untuk "berkeberatan" membaca. Dengan tema-tema terkini dan bahasa tulisan (bahkan nyaris dialogis), para penulis berupaya berbahasa dengan tulisan dan berdialog secara imajinasi dengan pembaca, sekaligus membawa "sesuatu yang ilmiah" Untuk itulah jumal ini dinamakan IMAJI.

  • Antara Melihat dan Membaca
    No. 1 (2005)

    Belajar di Fakultas Film dan Televisi-IKJ artinya mempelajari proses visualisasi, bagaimana caranya bahasa visual kita dipahami orang – syukur-syukur dalam konteks ‘seni’, dikagumi pula. Maka segala kibul untuk membuat orang percaya dan kagum kepada cara berbahasa visual, tentang apa yang disampaikan pula tentu, dipelajari sekian semester. Segala macam trik kibul mengibul diterjemahkan ke dalam sejumlah mata kuliah untuk dipelajari dan diterapkan, supaya bisa bicara dengan bahasa visual itu secara komunikatif, minimal untuk mencari nafkah.

    Tapi apakah yang berada di dalam kelas itu saja cukup ? itu persoalan pertama. Kedua, apakah cukup mempelajari yang visual saja, dan tidak perlu menyentuh yang tertulis – meskipun itu tulisan tentang bahasa visual?

    Visualisasi adalah proses kebahasan, dan apabila seseorang berbahasa sebenarnya berlangsung representasi isi kepala : nah, kepala kita masing-masing ini apakah isinya? Dunia komunikasi visual Indonesia, celakanya, lebih sering menunjukkan kekosongan isi kepala ketimbang petunjuk bahwa kepala itu berisi. Apabila mata kita sudah melek tiap hari melahap segala sesuatu yang visual, tapi kepala kita tetap kosong karena tak pernah mengolahnya, barangkali sudah tiba waktu untuk mengisinya dengan sesuatu yang tidak kasat mata, tapi bisa dibaca, seperti pemikiran, tentang yang visual juga.

    Maka jurnal ini bernama Imaji-menampung pemikiran Puan dan Tuan tentang segala persoalan dalam wacana visual: film, televisi, fotografi. Apapun yang berhubungan dengan budaya (audio) visual. Dibagikan cuma-cuma kepada mahasiswa agar mereka membaca dan berpikir tentang segala sesuatu yang dipelajarinya.

    Syukur-syukur Puan dan Tuan Mahasiswa akan menuliskan pemikirannya pula. Kita semua memang harus mengasah kepala supaya tetap berpikir bukan? Supaya otak kita jangan sampai lumutan-dan bisa lulus tanpa predikat kasihan.

26-28 of 28