Archives
-
Fotografi, Bahasa Visual dan Eksotisme
Vol. 15 No. 2 (2024)Fotografi adalah media yang kuat untuk menyampaikan pesan dan ide. Fotografi juga memiliki peran penting di dunia jurnalisme baik di koran, majalah, bahkan di zaman jurnalisme digital seperti sekarang ini. Selain itu, fotografi juga digunakan untuk mengeksplorasi tema-tema penting seperti catatan sejarah melalui peristiwa-peristiwa penting yang tertangkap dalam kamera atau mengenai keindahan dan bahkan eksotisme. Kekuatan-kekuatan inilah yang membuat fotografi begitu unik sebagai suatu medium perekam realitas. Namun, konsep eksotisme tampaknya tidak boleh dipandang sebelah mata sebab fotografer sering menggunakan eksotisme untuk mendokumentasikan budaya dan tempat yang berbeda dari budaya mereka sendiri, dan untuk mengeksplorasi ide-ide tentang identitas, budaya, dan “lainnya”.
John Berger, seorang kritikus seni dan penulis terkemuka, menawarkan perspektif unik tentang eksotisme dalam fotografi. Bagi Berger, bahwa fotografer memilih apa yang akan ditangkap dan bagaimana membingkainya, sehingga membentuk persepsi audiens terhadap subjek “eksotis”. “Cara pandang” ini bisa memberdayakan atau eksploitatif, bergantung pada niat sang fotografer. Berger mendorong kita untuk melihat lebih dari sekedar keindahan atau kekhasan yang sering dikaitkan dengan eksotisme. Dia mengusulkan keterlibatan yang lebih dalam dengan suatu karya foto, dengan mempertimbangkan kehidupan dan kisah orang-orang yang digambarkan. Pendekatan ini menumbuhkan empati dan menantang objektifikasi yang sering kali melekat dalam penggambaran yang eksotik.
Oleh karena itu, dalam IMAJI edisi kali ini, Seno Gumira Ajidarma mengeksplorasi konsep eksotisme dalam fotografi lebih jauh sebab menurut Seno era penjajahan mengkonstruksi peta budaya dunia dan memberi jalan kepada pandangan-pandangan eksotik. Melalui kritik pascakolonial dengan meminjam pemikiran Segalen yang disebut sebagai eksotikisme simbolis. Konsep ini kemudian digunakan oleh Seno untuk membahas foto-foto Jean Mohr yang diambil dari dalam gerbong Pullman dalam perjalanannya dari Bandung menuju Jakarta pada bulan Desember 1973. Sementara Ferdiansyah membahas seri foto yang berjudul Jesus Is My Homeboy (2003), karya David Lachapelle. Dengan menggunakan pendekatan semiotika dan hermeneutika, terlihat bahwa LaChapelle berusaha membela agama Nasrani dengan tidak memandang suku maupun ras untuk menyembah Yesus.
Berikutnya, Subhan Akrom Duta Laksana membahas terkait peran fotografi dalam pengarsipan sejarah kemerdekaan Indonesia. Pengarsipan dokumentasi sejarah kemerdekaan Indonesia menjadi sangat penting karena bisa menjadi bukti sejarah perjalanan Indonesia yang bisa tercatat dan bisa menjadi pembelajaran bagi generasi mendatang tentang bagaimana memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dengan memanfaatkan fotografi sebagai wujud seni visual modern yang memadukan seni serta teknologi terhadap pengarsipan sejarah kemerdekaan Indonesia. Di sisi lain, Supriyanta membedah perkembangan fotografi dari alat bantu seni menjadi medium utama dalam merekam realitas. Argumen utamanya fotografi yang tidak hanya menyimpan memorabilia sejarah tetapi juga menyampaikan emosi dan cerita serta meningkatkan pemahaman manusia tentang dunia di sekitarnya. Oleh karena itu, evolusi fotografi juga bertindak sebagai agen perubahan sosial melalui tampilan realitas yang dihadirkan.
Selanjutnya, Mochamad Naufal Diwana berusaha mendeskripsikan konsep dan proses penciptaan seni fotografi landscape melalui pendekatan fotografi ekspresi dengan tema keindahan alam beserta karakteristiknya. Eksplorasi ini bertujuan untuk menemukan konsep dan ide-ide terkait dengan keindahan alam di Trenggalek berupa pantai, air terjun, dan sebagainya yaitu dengan melakukan observasi melihat lokasi serta mempelajari situasi dan kondisi untuk menentukan sudut pandang terhadap objek. Terakhir, Amran Malik Hakim membahas mengenai tata bahasa fotografi yang dapat diartikan sebagai serangkaian elemen dasar yang membentuk landasan teknis dan visual dalam menciptakan imaji fotografi. Elemen seperti bingkai foto, bukaan diafragma, kecepatan rana, dan media fisik yang digunakan. Sama seperti dalam literasi tulisan yang menggunakan kosa kata, tata bahasa, dan sintaksis, fotografi juga memiliki komponen-komponen fundamental, seperti pencahayaan, komposisi, aperture, kecepatan rana, dan framing. Amran berusaha meletakkan elemen-elemen tersebut menjadi satu kesatuan sehingga dapat secara efektif untuk menyampaikan pesan, emosi, dan cerita melalui gambar yang dihasilkan oleh fotografi.
Selamat Membaca
Dr. Marselli Sumarno M.Sn
Ketua Redaksi
Jurnal IMAJI: Film, Fotografi, Televisi, dan Media BaruKlik untuk Full Issue.
-
Arsip, Wacana Visual & Film Eksperimental
Vol. 15 No. 1 (2024)Hari Film Nasional merupakan hari yang begitu istimewa bagi insan perfilman Indonesia. Dalam merayakan suasana tersebut, IMAJI edisi kali ini menawarkan beragam wacana menarik terkait isu perfilman secara khusus dan audio-visual secara umum, yaitu melalui tajuk yang berjudul Arsip, Wacana Visual, dan Film Eksperimental. Arsip, wacana visual, dan film eksperimental merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan saling memperkaya. Arsip menyediakan sumber daya untuk penelitian dan wacana visual, wacana visual membantu menginterpretasi dan memahami arsip, dan film eksperimental merupakan bentuk ekspresi visual yang dapat dianalisis dan dikaji dalam wacana visual.
Dalam IMAJI edisi kali ini, Muhammad Rivai Riza mengeksplorasi konsep organisme sosial milik Auguste Comte dan relasinya terhadap pengarsipan film-film Teguh Karya. Ia berusaha meninjau fungsi sosial dari praktek budaya perfilman Indonesia melalui institusi seperti Sinematek Indonesia pada kegiatan pengarsipan salah satu film karya sutradara bernama Teguh Karya (1937 - 2001) berjudul Wajah Seorang Laki-Laki (1971). Di sisi lain, Martinus Eko Prasetyo bersama Theofilus Liu berusaha menganalisis aspek film secara estetika dari sisi karakterisasi, spectacle, elemen audio, komposisi dan angle kamera. Aspek tersebut adalah upaya para pembuat film dalam membangun emosi audiens yang begitu mendalam dan ini menjadi alasan bagaimana film Miracle In Cell No. 7 sukses menghadirkan hiburan yang terus dibicarakan oleh audiens hingga hari ini.
Berikutnya, Kusen Dony Hermansyah yang membedah film berjudul Short Cut. Sebuah film yang bercerita tentang kelihaian seorang barber yang sedang memotong rambut seorang perempuan. Film tersebut dibedah melalui pendekatan hermeneutika radikal milik Jacques Derrida. Penggunaan teori tersebut menegaskan untuk tidak menilai seseorang dari penampilannya. Sementara Budi Dwi Arifianto bersama Zein Mufarrih Muktaf dan Silmy Mauli menawarkan wacana bahwa film dapat berfungsi sebagai literasi bencana di Desa Sumber, Magelang, Indonesia. Wacana ini datang berkat Isu resiliensi yang menjadi isu yang sangat penting pada Pengurangan Risiko Bencana di era sekarang ini. Mereka menemukan bahwa proses PEA (Produksi-Eksebisi-Arsip) melalui pendekatan video bisa dilakukan sebagai salah satu cara dalam membangun literasi kebencanaan. Hanya saja model pendekatan pengarsipan masih jauh dari yang diharapkan. Maka saran selanjutnya adalah mendiskusikan kembali pentingnya pengarsipan sebagai aset pengetahuan warga dalam upaya pengurangan risiko bencana.
Ary Prama Saputra mempertanyakan apakah ritme dan pace film hanya untuk sekedar membuat irama tanpa arah dan fungsi? Sebab keberadaan ritme editing film harus bisa bersinergi dengan naratif film nya. Karena arahan bentuk ritme yang salah dari editing akan fatal dampaknya bagi film. Apalagi jika tatanan elemen naratif film mengarah ke genre tertentu yang pasti mengerucut jadi sebuah konvensi. Oleh karena itu, Ary Prama Saputra berusaha membedah penggunaan ritme editing pada film komersial Indonesia dengan genre tertentu yaitu film horor melalui dua film yang berjudul KKN Di Desa Penari (2022) dan Wanalathi (2022). Terakhir, Sito Fossy Biosa bersama Eka Wahyu Primadani dan Waret Khunacharoensap mengkaji hubungan homo ludens dan seni abjek pada film eksperimental yang berjudul Pink Pastel.
Selamat Membaca dan Selamat Merayakan Hari Film Nasional!
Dr. Marselli Sumarno M.Sn
Ketua Redaksi
Jurnal IMAJI: Film, Fotografi, Televisi, dan Media BaruKlik untuk Full Issue.
-
Suara & Imaji yang Berkelindan
Vol. 14 No. 3 (2023)Suara dan Imaji adalah dua elemen yang saling berkelindan dalam sinema. Keduanya bekerja sama untuk menciptakan pengalaman sinematik yang bermakna. Namun, perjalanan suara dalam sinema adalah perjalanan panjang yang hadir berkat inovasi-inovasi. Dari film bisu yang mengandalkan musik dan ekspresi wajah, hingga sistem surround sound yang menggetarkan seluruh ruangan, dari fonogram hingga ke vitaphone, dari The Jazz Singer hingga ke Star Wars.
Pada era suara modern, teknologi suara telah berkembang pesat. Teknologi-teknologi baru seperti surround sound dan digital audio memungkinkan pembuat film untuk menciptakan pengalaman suara yang lebih imersif dan realistis. Kehadiran teknologi lainnya yang lebih modern seperti Dolby Atmos adalah teknologi suara surround yang menggunakan speaker di atas dan di sekitar penonton, kemudian ada DTS:X dan masih banyak lainnya. Suara telah menjadi elemen integral dan mampu mengubah lanskap sinema menjadi pengalaman menonton film dari sekadar tontonan visual menjadi sebuah seni yang menggugah emosi dan imersif.
Ketika suara dan imaji bekerja sama dengan baik, keduanya dapat menciptakan pengalaman sinematik yang utuh dan menyeluruh. Pengalaman ini dapat melibatkan emosi, pikiran, dan bahkan indera perasa penonton.
Dalam IMAJI edisi kali ini, Danu Murti bersama Hadrianus Eko Sunu dan Misbahol Amin membahas bagaimana pembuat film dapat memanipulasi emosi penonton dengan menggunakan suara. Dengan, spot effect dari lonceng bambu pada film Geumelis Ratna, tingkat kekerasan suara, arah datangnya suara, ukuran gambar, dan benda lain yang berada di sekitar lonceng bambu, mampu memberikan dampak emosi pada adegan yang menghadirkan spot effect lonceng bambu. Di sisi lain, Jonathan Manullang mengeksplorasi implementasi kreatif atas audio sebagai elemen sentral dalam film On The Origin of Fear, film pendek karya Bayu Prihantoro Filemon menggunakan kerangka teoritik berupa model tricircle yang dikembangkan oleh Michel Chion. Film mampu mempenetrasi memori alam bawah sadar penonton serta mengekspos upaya peng-korupsi-an pikiran yang telah lama bercokol tentang salah satu episode terkelam dalam sejarah republik.
Sementara itu, Yogi Tri Kuncoro membahas segi suara dalam film bahwasannya memiliki peran penting untuk memberikan penekanan emosi dan informasi dalam sebuah cerita. Selain itu, melalui bunyi yang diciptakan, seperti unsur suara (dialog, efek suara, dan musik) maka ketepatan suara dapat menentukan sebuah emosi, bisa pada setiap karakter dan aksi reaksi di dalam ruang penceritaan yang langsung dapat dirasakan yang sama oleh penontonnya. Selanjutnya, Binda Suci Ramadhani bersama Astrida Fitri Nuryani dan Mondry, membahas representasi keluarga dalam film Turah dengan berdasarkan dialog pada dasarnya Turah mengangkat pesan kesenjangan dan kemiskinan yang ada di kampung Tirang.
Selain itu, persoalan analisis mendalam tentang suara kemudian berpindah terhadap analisis inovasi teknis sinematografi dan persoalan subjektivitas pada diri pembuat film. Bambang Supriadi berusaha mengkaji kiprah Lumière dan Sokurov dalam sejarah sinema berdasarkan inovasi teknologi, seperti Cinématographe karya Lumière dan eksplorasi Sokurov terhadap teknologi digital dengan konsep one/single shot, untuk mengungkapkan bagaimana perubahan teknologi membentuk narasi sinematik. Terakhir, Kintan Labiba Manggarsari dan A. Harsawibawa menunjukkan bagaimana subjektivitas sutradara perempuan memiliki kekuatan untuk menawarkan representasi perempuan yang aktif, bukan sebagai pelengkap, dan memiliki otonomi individu sebagai subjek yang utuh. Konvensi sinema dominan yang strukturnya secara historis didominasi oleh laki-laki menyebabkan tidak adanya ruang bagi subjektivitas perempuan. Representasi perempuan tidak menampilkan sosok perempuan sebagai perempuan seutuhnya. Melalui kritik terhadap sinema dominan, subjektivitas perempuan kemudian menjadi nilai penting karena memiliki kekuatan untuk memberikan penggambaran dan pandangan tentang perempuan apa adanya, hadir bukan sebagai ilusi.
Selamat membaca dan merayakan natal serta tahun baru 2024!
Dr. Marselli Sumarno M.Sn
Ketua Redaksi
Jurnal IMAJI: Film, Fotografi, Televisi, dan Media BaruKlik untuk Full Issue.
-
Fotografi, Riwayatmu Hingga Kini
Vol. 14 No. 2 (2023)Seiring dengan kecepatan perkembangan era digital, seni fotografi ikut melesat ke depan dan juga melahirkan berbagai konsekuensi estetis maupun etisnya. Baru-baru ini perkembangan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan telah memasuki bidang fotografi. AI dalam fotografi memiliki pengaruh yang cukup signifikan, kehadiran AI tersebut dipercaya dapat meningkatkan kualitas gambar, menghadirkan objek secara lebih baik dan akurat, fokus otomatis dan lain-lain. Kemudahan-kemudahan ini tak mungkin diabaikan, pilhan praktis tentu jadi hal yang paling solutif.
Namun, jika wacana tersebut kita tarik pada sebuah distingsi antara manusia dan mesin, lalu bagaimana jadinya? Dalam konteks fotografi, terdapat beberapa perbedaan antara manusia dan mesin (kamera) dalam hal ini kehadiran Artificial Intelligence (AI). Pertama, kemampuan kreatifitas. Fotografi adalah seni, dan manusia memiliki kemampuan kreatifitas yang sangat kuat. Seorang fotografer dapat mengandalkan visi artistik dan emosi untuk mengambil gambar yang unik dan bermakna. Fotografer dapat memilih sudut pandang, komposisi, dan pencahayaan untuk menciptakan karya yang mendalam dan mengesankan. Berbeda dengan AI, meskipun kamera saat ini semakin pintar dengan teknologi canggih, mesin biasanya bekerja berdasarkan algoritma dan pola yang telah diprogram sebelumnya. AI tidak memiliki daya cipta, inspirasi, atau perasaan seperti manusia. Mesin hanya bisa menghasilkan gambar berdasarkan instruksi yang diberikan kepada mereka.
Kedua, Interpretasi Subjek. Fotografer memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan subjek dan momen dengan cara yang unik. Mereka dapat menggambarkan emosi, keindahan, atau pesan tertentu melalui foto mereka dan menciptakan hubungan empati dengan subjek atau orang yang difoto. Fotografer juga mampu menangkap momen-momen yang tidak terduga atau spontan yang mungkin tidak dapat diperkirakan oleh AI. Sementara AI memandang kamera sebagai interpretasi yang terbilang terbatas dan mungkin kurang mendalam daripada yang bisa dilakukan oleh seorang fotografer.
Tentu saja persoalan ini masih banyak memerlukan diskusi untuk mencari terobosan-terobosan pemikiran. Sementara Jurnal IMAJI Vol. 14 No. 2 Edisi Juli Tahun 2023 berfokus pada persoalan fotografi yang nampaknya sederhana tetapi tetap menarik untuk di wacanakan, yaitu menyangkut tata cahaya, penceritaan dan ekspresi. Erlan membahas Kekuatan naratif pada salah satu karya fotografi dokumenter Oscar Motuloh terutama pada peristiwa Reformasi 1998 di Indonesia dan tumbangnya rezim Orde Baru. Lalu, Ardiansyah Romadhoni membahas pentingnya diskursus foto jurnalistik ditengah arus kecepatan internet dalam menyampaikan informasi.
Selain itu, Erchlish Alfarozi membedah unsur-unsur dalam pencahayaan/lighting dalam dunia fotografi terutama yang berkaitan dengan foto konsep human interest. Sementara, Ferdiansyah membahas persoalan peran still photography dalam sebuah produksi film yang bereksperimen dengan berbagai type of shot, komposisi, dan pencahayaan, dalam konteks penekanan dari sebuah imaji dan dibahas lewat pemaknaan denotasi dan konotasi. Di sisi lain, Riva Amalia Fasiha membahas gagasan seorang seniman terhadap karya yang diciptakan merupakan sebuah ekspresi dari seorang seniman sehingga dapat menyampaikan sebuah cerita yang divisualisasikan melalui foto.
Terakhir, Nurbaiti Fitriyani membahas film Ca-bau-kan (2002) yang disutradarai oleh Nia Dinata dengan tujuan untuk mengetahui kebaruan, khususnya pada karya adaptasi yang sebelumnya berangkat pada novel yang berjudul sama Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa (1999) karya Remy Sylado. Pembicaraan ihwal adaptasi, sejauh ini masih sebatas perihal fidelitas sebuah film terhadap karya sastra yang diadaptasi. Hal tersebut memang tidak bisa ditampik karena mengadaptasi pada akhirnya juga akan menghasilkan perbandingan antara film dan sastra, apalagi film dan sastra memiliki wahana yang berbeda: film disampaikan melalui audiovisual, sedangkan sastra dengan verbalisasinya, yakni kata-kata, sehingga menimbulkan proses interpretasi yang berbeda pula.
Di rubrik wawancara kami menghadirkan Oscar Motuloh, seorang jurnalis terkemuka Indonesia. Seseorang yang mendedikasikan hidupnya ke dunia fotografi melalui aktivitas di kantornya maupun lapangan dengan penuh gairah.
Selamat membaca dan salam fotografi.
Dr. Marselli Sumarno M.Sn
Ketua Redaksi
Jurnal IMAJI: Film, Fotografi, Televisi, dan Media BaruKlik untuk Full Issue.
-
Antara Struktur dan Bahasa Visual
Vol. 14 No. 1 (2023)Tanggal 30 Maret 1950, Usmar Ismail dengan uang pesangon dari dinas ketentaraan Indonesia waktu itu, lantas membuat film Darah dan Doa (The Long March) (1950), kisah royan revolusi atau rasa ketidakpuasan tentara dengan posisi mereka setelah Indonesia merdeka di tahun 1945. Usmar kemudian mendirikan studio Perfini dan membuat film-film dengan tema serupa, seperti Lewat Djam Malam (1954). Hampir-hampir pernah mengalami kesulitan pendanaan untuk menyelesaikan filmnya secara total.
Namun yang perlu disoroti adalah idealisme dari seorang Usmar Ismail yang secara sepenuh hati pindah ke dunia ekspresi yang penuh tantangan karena film impor India, Malaysia dan Amerika Serikat sudah mulai mewabah di Indonesia.
Hal yang menarik bahwa dari film Usmar Ismail ini yang berjudul Darah dan Doa (The Long March) (1950), selain kru nya film-film Indonesia, Usmar juga mempermasalahkan masalah-masalah orang Indonesia dengan persoalannya. Dalam konteks ini adalah revolusi kemerdekaan berakhir banyak yang mengalami kecewaan tentang masa depan mereka sebagai tentara.
Namun idealismenya tak bertahan lama karena menghadapi kenyataan pasar yang lebih mengapresiasi film-film komersial. Bagaimanapun, Usmar Ismail pada akhirnya dijuluki “bapak perfilman” dan tanggal 30 Maret diperingati sebagai hari film nasional.
Patut dicatat Hari Film Nasional di tahun ini penyelenggaraannya sungguh meriah, melalui Badan Perfilman Indonesia, menyelenggarakan tajuk berjudul “Wajah Film Nasional” dengan 13 topik membicarakan permasalahan -permasalahan perfilman di Indonesia. Setidaknya kegiatan tersebut adalah salah satu bentuk partisipasi aktif dan kritis dari level permasalahan produksi hingga terkait kebijakan bagi insan perfilman untuk mendorong pemerintah Indonesia agar terus mendukung kegiatan-kegiatan perfilman di Indonesia.
Maka, melalui semangat Hari Film Nasional, edisi Jurnal IMAJI kali ini juga tidak kalah menariknya; Hery Sasongko membahas struktur visual dari penyeleksian jukstaposisi shot dan editing dari film eksperimental Sweet Ravana (2017). Lalu, Diva Eureka membahas adegan Apple Strudel dalam film Inglourious Basterds (2009) Shot-shot yang ada di dalam adegan Apple Strudel tidak hanya bermakna seperti yang terlihat saja, tetapi memiliki makna konotatif baik secara paradigmatik maupun sintagmatik yang ia analisis menggunakan pendekatan semiotika film dari Christian Metz.
Selain itu, Hari Suryanto berusaha menjelaskan mengenai hubungan antara film dan kebudayaan lokal dalam merangkai karakteristik nasionalitasnya melalui film Setan Jawa (2017). Sementara Satyani Adiwibowo berusaha mengetahui nuansa warna film mana yang nyaman ditonton oleh anak-anak dengan spektrum autisme melalui film Coco (2017) dan Frozen (2013). Selanjutnya, Esra Tampubolon dan Hibatullah Billy berusaha memperlihatkan temuan-temuan kritis terhadap penggayaan mise-en-scene dari karya yang dibuat oleh penulis yakni film Pion (2021). Dan Terakhir Tri Widyastuti berusaha menganalisis film horor, ia menganggap bahwa mengapa film horor sering menjadi film yang laris, bahkan meraup box office. Ketika Indonesia dilanda pandemi Covid-19, film horor pun tetap menjadi tontonan yang digemari.
Selamat membaca dan semoga kebijakan-kebijakan film makin mendukung kemajuan perfilman nasional.
Dr. Marselli Sumarno M.Sn
Ketua Redaksi
Jurnal IMAJI: Film, Fotografi, Televisi, dan Media BaruKlik untuk Full Issue.
-
Menuju Layar Personal sebagai Budaya Baru Menonton
Vol. 13 No. 3 (2022)Menjelang akhir tahun 2022 Jurnal IMAJI telah terbit sebanyak tiga (3) edisi dalam satu tahun dan sudah dilakukan dalam dua tahun terakhir ini. Memang setiap penerbitan belum konsisten menyatakan tema-tema tulisan yang akan dimuat dalam satu volume. Namun, setelah nanti Jurnal IMAJI memperoleh nilai akreditasi di awal tahun 2023 semoga hal-hal tersebut bisa terwujud dan terlaksana.
Paling tidak dalam edisi kali ini Jurnal IMAJI menghadirkan tulisan-tulisan yang menarik untuk di baca. Arda Muhlisiun mencoba melakukan penelitian untuk melihat perkembangan film dan prinsip kepenontonan film ketika wabah Covid-19 melanda dunia. I Made Arya Wibawa Dwiputra Artana melihat ruang di luar layar dalam film merupakan ruang yang sifatnya tidak dapat dilihat oleh penonton oleh karena itu ia mencoba melakukan observasi terhadap film Cat People (1942) dan Shirin (2008) untuk melihat penggunaan ruang di luar layar yang akan dikombinasikan dengan teori diegetic off-screen.
Selain itu, Jonathan Manullang melakukan kajian tekstual yang berusaha mengeksplorasi hubungan antara manusia dan non-manusia melalui simbol-simbol semiotika yang terdapat pada film Inang (2022) karya Fajar Nugros dan yang menarik Jurnal IMAJI edisi kali kedatangan tulisan dari Aresipine Dymussaga Miraviori, beliau saat ini sedang menempuh studi doktoral di University of California Riverside, dalam tulisannya ia memperlihatkan bahwa film The Vagabond (1985) karya Agnes Varda dan Nomadland (2020) karya Chloe Zhao, kedua film tersebut memiliki kesamaan yang menonjol yaitu seorang wanita yang hidup sendirian tanpa atap. Oleh karena itu dengan membandingkan dua karakter utama pada kedua film tersebut, beliau mencoba meninjau bagaimana wanita tanpa atap dicitrakan dan diperlakukan oleh masyarakat patriarki.
Selanjutnya, Kusen Dony Hermansyah melalui tulisannya berusaha mempertanyakan kebenaran yang mengatakan bahwa film-film Robert Flaherty adalah film dokumenter awal di dunia sementara Naswan Iskandar berusaha memperlihatkan proses pembuatan film dokumenter arkeologis dalam sudut pandang akademis dengan subjeknya adalah kompleks Candi Kedaton di Situs Muarajambi sebagai tempat pembelajaran keagamaan Buddha pada masa lalu.
Akhirnya, selain menghadirkan tulisan-tulisan mengenai medium audio visual baik film, televisi, fotografi dan media baru, jurnal IMAJI juga selalu menghadirkan wawancara dengan tokoh perfilman nasional yang dalam edisi kali ini mewawancarai Riri Riza.
Selamat menyimak dan menyambut tahun baru 2023 yang nampaknya akan lebih riuh rendah antara lain karena tahun 2023 disebut tahun politik menjelang pemilu serentak di awal 2024, ancaman bencana alam dengan gempa dan tsunami, serta prediksi resesi dunia. Barangkali hal-hal itu bisa direfleksikan dalam kajian yang terkait film, televisi, fotografi dan media baru. Tentunya kita semua tetap optimis untuk menghadapinya, selamat membaca.
Dr. Marselli Sumarno M.Sn
Ketua Redaksi
Jurnal IMAJI: Film, Fotografi, Televisi, dan Media BaruKlik untuk Full Issue.
-
Wawancara dan Kedalaman Penelitian Media Audio Visual
Vol. 13 No. 2 (2022)Satu ke-khasan yang mau dikembangkan oleh Jurnal IMAJI adalah forum wawancara dengan tokoh perfilman nasional. Hal ini diawali dengan wawancara dengan Joko Anwar, Tonny Trimarsanto, dan Nan T. Achnas. Di nomor yang terbaru ini sutradara produktif Hanung Bramantyo telah menempatkan diri untuk menjawab secara panjang lebar terhadap belasan pertanyaan yang telah diajukan oleh Tim Redaksi Jurnal IMAJI. Terima kasih kepada Hanung dan semoga wawancara edisi selanjutnya juga semakin mendalam dan memberikan pengetahuan kepada para pembaca.
Bahwa selain wawancara, IMAJI juga akan merintis bedah buku film mulai edisi tahun 2023, misalnya membicarakan sebuah buku karya tulis Tanete A. Pongmasak yang berjudul Sinema di Era Soekarno, keunikan buku ini adalah menelusuri jejak sinema Indonesia dari masa sebelum kemerdekaan, masa pemerintahan Soekarno melalui sudut pandang sosiologi.
Sementara itu, artikel-artikel yang dimuat pada edisi kali ini juga sangat beragam temanya, misal Agustinus Dwi Nugroho membahas bahwa Efek khusus (Special Effect) telah digunakan dalam produksi film sebelum kemerdekaan Indonesia tepatnya pada masa Hindia Belanda tahun 1935, di film Tie Pat Kai Kawin (1935) dan Tengkorak Hidoep (1941). Dalam penelitiannya Agustinus mengungkapkan bahwa teknologi film pada masa itu mampu memvisualisasikan eksplorasi sinematik dalam mengemas cerita di masa sejarah awal film Indonesia. Sementara itu, Yohanes Yogaprayuda bersama R.M. Widihasmoro Risang membahas bahwa melalui Metode Rate of Cutting dinilai mampu berkontribusi dalam meningkatkan nilai dramatik pada film Penyalin Cahaya (2021). Selain itu, Irwan Tarwaman bersama Rama Mutsaqoful Fikri membahas relasi adegan bencana yang menggunakan CGI dalam teknik montase pada film Bangkit! (2016). Ada juga Moelyono Rahardjo yang mempersoalkan bahwa selama ini wacana fotografi hanyalah tentang permasalahan proses jepret dan jadi, beliau pun ingin meluaskan wacana perbincangan fotografi tidak hanya pada proses jepret dan jadi saja di dalam tulisannya. Kemudian, ada Sigit Setya Kusuma yang melakukan observasi dan eksplorasi terhadap tata cahaya dalam fotografi menggunakan arah yang berbeda-beda terhadap sebuah objek yaitu batu bata. Dan yang terakhir Fajar Nuswantoro membahas biaya produksi animasi di Negara Indonesia lebih mahal dan menjadi masalah utama dalam pemasaran film animasi Indonesia, sehingga harus adanya solusi untuk memangkas bagaimana biaya produksi tersebut agar lebih murah dengan tawaran software bernama Blender dan Python.
Selamat Membaca.
Dr. Marselli Sumarno M.Sn
Klik untuk Full Issue.
-
Merayakan dan Dirayakan Melalui Sinema
Vol. 13 No. 1 (2022)Kali ini Jurnal IMAJI Vol. 13 No. 1 akan menyambut peringatan hari film nasional pada tanggal 30 Maret 2022. Penentuan tanggal hari film nasional melalui perdebatan sengit apakah akan memilih tanggal 30 maret sebagai hari awal sineas Usmar Ismail melakukan syuting film pertama atas film Darah dan Doa (1950), ataukah hari penyerahan gedung film propaganda milik Jepang ke-tangan pemerintah Indonesia yang baru di tahun 1945.
Perdebatan itu kemudian menemukan jalan keluar bahwa apa yang dilakukan Usmar Ismail itu jauh lebih bermakna daripada penyerahan gedung. Sebagaimana juga isu bahwa kemerdekaan Republik Indonesia atas perjuangan bangsa Indonesia sendiri dan bukan hadiah dari Jepang.
Dengan demikian, edisi Jurnal IMAJI kali ini dengan semangat merayakan hari perfilman nasional memuat tulisan-tulisan bagaimana sebuah film dapat berkontribusi terhadap sebuah kehidupan di dalam masyarakat melalui representasi yang ditawarkan, misalnya Hanief Jerry membahas fungsi karakter sebagai bentuk untuk menyampaikan pesan pendidikan dalam film Jagat Raya (2020), ada juga Subadi yang melihat viralnya film pendek berjudul Tilik (2018). Pada tahun 2020 film Tilik menjadi perbincangan hangat sehingga terjadi pro kontra antar netizen di media sosial. Sehingga hal tersebut bisa dijadikan sebagai sebuah strategi marketing untuk menaikkan pasar film tersebut di mata publik. Selain itu, Jonathan Manullang yang menganalisis film Turah (2016) menunjukkan bahwa sebuah film dapat memberikan nuansa represi yang sangat akut sehingga terciptalah klaster-klaster sosial represif. Bagi Manullang sebuah film dapat merepresentasikan tentang relasi kuasa, seksualitas, marjinalitas, isolasi personal, serta praktik eksploitasi total atas kelompok masyarakat bawah yang tidak berpendidikan.
Selain ketiga penulis diatas, Niniek L. Karim yang membahas film-film dari peserta Festival Film Indonesia tahun 2021 yaitu Penyalin Cahaya, Yuni, Cinta Bete dari sudut pandang kepenontonan yang ia sebut sebagai kategori usia tua atau jadul dalam menonton film produksi generasi millennials tersebut. Dengan menggunakan pendekatan psikologi sosial ia menguraikan pengalaman menonton dan kondisi psikologi sosial yang bersebrangan dari dua generasi yang berbeda sehingga menjadi refleksi atau perwakilan sikap dalam menelaah suatu film. Ada Juga Elizabeth Kristi Poerwandari yang mengajak para pembaca untuk belajar tentang Psike dari seorang perempuan melalui karakter Siti, Athirah, dan Marlina. Ia melihat bahwasannya psikologi dari sudut pandang gender dapat memberikan serta membedah lebih jauh bagaimana karakter perempuan di representasikan dalam sinema Indonesia. Dan Kusen Dony Hermansyah yang membedah wacana film dokumenter dengan membandingkannya dengan film dokumentasi, jurnalistik televisi dan video blogging (vlog). Ia melihat seringkali peristilahan dokumenter dianggap sebagai begitu saja (taken for granted) tanpa ada pengamatan lebih lanjut. Sehingga melalui pengamatannya ia berusaha memperjelas kebingungan-kebingungan saat harus harus membedakan apa itu dokumenter dengan produk-produk audio-visual yang telah disebutkan di atas.
Dan yang terakhir dan tak kalah menarik bahwa edisi kali ini, Jurnal IMAJI juga memuat hasil wawancara bersama Nan T. Achnas sebagai salah seorang motor penggerak kajian film di Indonesia.
Selamat Membaca dan selamat merayakan hari perfilman nasional !
Dr. Marselli Sumarno M.Sn
Klik untuk Full Issue.
-
Membingkai Realitas melalui Imaji Visual
Vol. 12 No. 3 (2021)Sudah direncanakan bahwa Jurnal IMAJI Vol. 12 No. 3 akan bertemakan tentang film dokumenter, sebab selama ini ada peningkatan yang tajam tentang kuantitas maupun kualitasnya yang kurang mendapatkan sorotan dibandingkan dengan produksi film fiksi. Namun dari beberapa naskah yang diharapkan bisa kami terima pada waktunya, ternyata mengalami penundaan. Paling tidak masih tersisa satu artikel yang terkait dengan topik Tragedi nasional 1965. Selain itu, masih ada wawancara panjang dengan Ketua Asosiasi Dokumentaris Nusantara (ADN) yang bermarkas di kota Klaten, Surakarta.
Penundaan naskah dokumenter yang masuk tersebut, menyebabkan sedikit keterlambatan dalam penerbitan Jurnal IMAJI kali ini karena faktor pencarian naskah-naskah pengganti agar bisa terbit. Memang hal ini merupakan masalah klasik dari suatu Jurnal, yakni ketersediaan naskah-naskah yang sudah direncanakan sesuai tema yang ingin diusung. Barangkali di lain kesempatan tema fim dokumenter bisa diangkat kembali dengan lebih mendalam dan tajam.
Menjelang akhir tahun 2021 Jurnal IMAJI menjumpai para pembacanya dan dengan semangat yang lebih baik kita memasuki tahun baru 2022. Semoga semangat meneliti dan menulis dari para kontributor tetap terus meningkat.
Selamat membaca.
Dr. Marselli Sumarno M.Sn
Klik untuk Full Issue.
-
Panorama Mengamplifikasi Gagasan melalui Media Audio-Visual
Vol. 12 No. 2 (2021)Menjelang terbitnya jurnal IMAJI wajah baru edisi Juli 2021 ini, situasi pandemi masih meruyak di mana-mana, termasuk di Indonesia. Apa boleh buat, tugas penerbitan jurnal harus terus berjalan.
Topik-topiknya cukup menarik. Antara lain suatu pengamatan atas pengalaman horor oleh wanita berkebangsaan Belanda yang ikut terseret di zaman pendudukan Jepang di Indonesia. Wanita itu, Jan Ruff, ikut menjadi budak pemuas nafsu seks para prajurit Jepang. Namun baru setelah 50 tahun kemudian, jadi di pertengahan tahun 90-an, pengakuannya diterbitkan dalam bentuk buku tebal dan sebuah film dokumenter. Testimoni Jan Ruff menggedor rasa kemanusiaan dan baik media buku maupun film dokumenter itu telah membawakan perannya dengan baik.
Di awal tahun 60-an, Presiden Soekarno mengirim seratusan lebih orang muda Indonesia untuk mendalami kesenian di berbagai bidang di Eropa, terutama ke Rusia. Pecah tragedi nasional 1965 dan nasib kebanyakan kaum muda itu jadi terkatung-katung. Apakah terus menetap di Eropa atau pulang ke Indonesia namun dengan resiko akan dipenjarakan, mengingat Presiden Soekarno punya kedekatan dengan Partai Komunis Indonesia dan Rusia sebagai yang sudah lama menggenggam ideologi komunisme. Salah satu orang muda itu adalah Awal Azhura.
Setelah perkembangan teknologi digital merasuk ke jantung masyarakat di mana-mana, lahir persoalan propaganda dan perkara budaya itu sendiri. Persoalan-persoalan budaya menyeruak dan berebut perhatian melalui berbagai tayangan audio visual, yang intinya adalah tarung propaganda. Suara pertarungan itu riuh rendah, bersifat mencerahkan atau malah berupa disinformasi, dan lain sebagainya. Lalu bagaimana mengelola representasinya kepada masyarakat luas?
Ada rubrik baru yang kami tampilkan, yaitu rubrik wawancara yang untuk perdana kami fokuskan pada sosok sutradara berbakat Joko Anwar. Jawaban-jawabannya masih tergolong ringkas-ringkas sehingga lain kesempatan kepada para pembuat film masih dimungkinkan untuk menggali pemikiran-pemikiran personal mereka mengenai film.
Itulah antara lain tiga topik yang ada dalam edisi jurnal IMAJI kali ini. Selamat membaca dan salam sehat Corona.
Dr. Marselli Sumarno M.Sn
Klik untuk Full Issue.
-
Sinema dan Wacana
Vol. 12 No. 1 (2021)Sinema sebagai medium audio visual dengan permainan bentuk dan gaya tertentu akan selalu memunculkan sebuah wacana pada sebuah permukaan. Wacana inilah yang kemudian dibaca dan ditasifrkan untuk mengetahui sebuah pesan atau tanda dan bahkan sistem representasi yang berusaha dihadirkan oleh para pembuatnya. Tentunya, berbagai karya film mampu menghadirkan diskursus ke tingkatan variasi konteks mulai dari ide-ide tentang kebudayaan hingga ke sudut-sudut ideologi tertentu.
Hal tersebutlah yang ingin diangkat pada pembahasan kali ini dengan tajuk: Sinema dan Wacana.
Dalam Jurnal IMAJI edisi kali ini, kita akan melihat bagaimana Kemala Atmojo melihat sebuah film dapat dijadikan sebagai representasi sistem hukum, lalu adapula Nurman Hakim mencoba melihat film sebagai produk kebudayaan. Debra H Yatim yang menyerukan teks-teks mengenai sinema Indonesia agar segera diperbaharui. Kemudian, Julita Pratiwi bersama dua orang temannya, Aulia Tiara Solechan dan Indriana Oktavia menyelidiki peran Masyarakat Film Indonesia atau yang disebut MFI dalam mendukung demokratisasi atas sinema Indonesia. Lalu, Hanny Herlina yang berusaha memadukan koreografi tari dengan sebuah kamera sebagai upaya untuk merespon inovasi pembelajaran efektif di kala pandemi Covid-19 dengan sistem pertunjukan secara virtual. Dan terakhir, Erlina Adeline Tandian menyoroti karakter pahlawan perempuan dalam dua film yaitu Wonder Woman (2017) & Mulan (2020) sebagai kritik feminisme terhadap psikoanalisis.
Salam dan Selamat Membaca.
Klik untuk Full Issue.
-
Sinema, Ideologi, dan Kritik Sosial
Vol. 11 No. 2 (2020)Sinema sebagai sebuah produk budaya, tak akan bisa melepaskan diri dari ideologi pembuatnya. Hal tersebutlah yang kemudian memberikan beragam kekayaan pemaknaan yang disampaikan melalui bentuk dan gaya film. Kritik tentang situasi, fenomena budaya, politik, kondisi sosial, sering kita temukan di dalam karya-karya film. Pemilihan gaya tertentu juga dapat kita kaji untuk melihat pilihan ideologis seorang pembuat melalui karyanya.
Hal tersebutlah yang ingin diangkat pada pembahasan kali ini dengan tajuk: Sinema, Ideologi, dan Kritik Sosial.
Dalam Jurnal Imaji edisi ini, kita akan melihat bagaimana Julita Pratiwi meneliti pemaknaan ideologis ruang ketajaman dalam film Roma, lalu Satrio Pamungkas membahas dekonstruksi wacana dominan dalam film-film Oppenheimer. Heri Purwoko membahas film Zootopia dan melihat humor sebagai simbol kritik sosial. Sito Fossy Biosa, melalui penelitian penciptaan, mencoba membahas fenomena medis yang disebut idam pica. Terakhir, Budi Wibawa, membahas problem etika yang ia kaji dalam film Jagal dan Senyap.
Selamat membaca.
Klik untuk Full Issue.
-
Bentuk, Gaya, dan Persepsi Penonton
Vol. 11 No. 1 (2020)Medium audio visual, baik itu dalam bentuk sinema maupun program televisi, memiliki ciri khas karakteristik medium yang berbeda dengan medium-medium naratif lainnya. Ciri khas tersebut secara umum terbagi ke dalam dua unsur yang dikenal sebagai: bentuk dan gaya. Pemanfaatan kedua unsur inilah yang membuat sebuah karya mampu mengonstruksi informasi yang nantinya akan menghadirkan persepsi makna kepada penonton.
Hal tersebutlah yang ingin diangkat pada pembahasan kali ini dengan tajuk: Bentuk, Gaya, dan Persepsi Penonton.
Dalam Jurnal Imaji edisi ini, kita akan melihat bagaimana Danu Murti membahas tentang pemanfaatan ruang 360 derajat dalam editing untuk memberikan penekanan dramatik dan psikologis, lalu Hanief Jerry membahas tentang penyutradaraan program sepakbola agar dapat memberikan penekanan dramatik dan menyampaikan alur dengan kuat pada penonton. Lalu, Suzen H. R. Tobing menyoroti makna budaya masyarakat Sumatera Utara yang terdapat dalam film Demi Ucok. Yohannes Yoga dan Erina Adeline membahas penerapan Psikologi Gestalt dalam film Joker. Terakhir, Damas Cendekia membahas konsep naratif inciting incident dalam film-film puzzle.
Selamat membaca.
Klik untuk Full Issue.
-
Karakter dan Konsep-Konsep Psikoanalisis dalam Film
Vol. 10 No. 2 (2018)Karakter adalah pusat dari semesta dalam film naratif yang menggerakkan cerita. Posisi karakter sebagai salah satu elemen cerita begitu krusial, sehingga memunculkan formula naratif dominan seperti Sinema Hollywood Klasik, yang merupakan manifestasi proses karakter mewujudkan tujuan hidupnya. Bahkan, karakter dan motifnya menjadi begitu fundamental sebagai faktor utama konstruksi dramaturgi klasik dengan pola tiga babak. Sebagai pusat dunia fiksi atau cerita dalam film, karakter menghasilkan refleksi teoritis dan praktis yang tidak terhingga. Salah satu kajian yang intens dikembangkan dalam menghasilkan karakter dimensional dan sensasional adalah psikoanalisis. Dalam perspektif psikoanalisis, potret kepribadian manusia melalui perspektif fisiognomi, sosial dan budaya lebih diperkaya dengan tinjauan bawah sadar yang akan membuka kemungkinan tidak terhingga dalam menghasilkan karakter-karakter yang akan terus diingat oleh penonton.
Dalam edisi ini, Imaji menghadirkan artikel dari Devina Sofiyanti tentang karakter dan perjalanan hidupnya sebagai pola penceritaan sinema dominan. Artikel Satrio Pamungkas memperlihatkan relasi dari kajian psikoanalisis terhadap konstruksi karakter dalam film The Wolf of Wall Street. Sementara, Ario Sasongko kembali menegaskan aplikasi konsep-konsep klasik psikoanalisis seperti id, ego, dan superego. Selain itu, Imaji edisi Juli 2018 ini dilengkapi oleh Bambang Supriadi yang mengangkat relasi seni dan teknologi, serta Kusen Dony Hermansyah yang membahas kekeliruan mendasar dalam metode riset film dokumenter.
Klik untuk Full Issue.
-
Teknologi dan Storytelling dalam Medium Audio-Visual
Vol. 10 No. 1 (2018)Berbeda dengan lukisan, film dan fotografi merupakan hasil mekanisme optik. Proses penciptaan imajinya melibatkan hukum-hukum cahaya. Ketika perekaman gambar berlangsung, kamera menangkap sebuah objek dan keberadaan lensa mempercepat jalannya proses tersebut. Kamera, lensa, dan bahan baku (dalam periode analog) adalah beberapa teknologi prasyarat dalam proses penciptaan imaji sinematik dan fotografi. Keberadaan teknologi dan peralatan-peralatan dasar itu, sangat menentukan eksistensi dari film dan fotografi. Berbagai peralatan dan mesin audio-visual yang dirancang melalui presisi teknis secara ilmiah kerap dipandang sebagai sesuatu yang netral. Bahkan, mereka cenderung dilihat sebagai sesuatu yang bebas nilai. Pengusung teori film realis seperti Andre Bazin bahkan memiliki keyakinan bahwa imaji visual dari film dan fotografi memiliki karakteristik yang unik, persis karena keterlibatan mekanisme optik yang menyebabkan imaji visual dari kedua medium bersifat objektif.
Namun klaim objektif terhadap teknologi tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang natural dan alamiah semata. Jean Louis Comolli, yang merupakan salah satu pemikir film yang berafiliasi pada pemikiran Marxisme, melihat tendensi ideologis muncul karena setiap konstruksi apapun selalu melibatkan kepentingan kelas. Begitu pula halnya dengan sains, serta penciptaan peralatan seperti kamera film serta fotografi. Selalu terdapat nilai-nilai tersembunyi di balik sesuatu.
Jurnal IMAJI edisi kali ini berusaha memotret sisi lain dari diskursus teknologi film dan fotografi tersebut, melalui kajian sudut pandang kultural, sosiologis, filosofis, estetis, ideologis, serta politis. Diawali dengan tulisan dari German Mintapradja yang melihat pergeseran dari viewfinder ke monitor, yang mengubah prinsip budaya intip menjadi budaya menonton dalam proses syuting. Berikutnya. Eric Gunawan memperlihatkan wacana teknologi film 3D melalui perspektif filosofis Jean-François Lyotard terkait dialektika teks dan imaji. Lalu, Damas Cendekia berusaha menyelisik mekanisme film sebagai mesin storytelling yang selalu bermain antara konvensi dan dekonstruksi, melalui penelitian atas pelanggaran dan inovasi kaidah surprise pada film Arrival (2016). Kemudian, Mohamad Ariansah, Siti Asifa Nasution, dan Budi Wibawa mengangkat perspektif lain mengenai posisi suara dalam film, dilihat dari sudut pandang fenomenologis terhadap konsep spiritualitas manusia. Selanjutnya, ada pula penelitian Satrio Pamungkas mengenai foto-foto Soeharto sebagai resistensi terhadap sistem orde baru yang represif. Pada akhirnya, jurnal IMAJI edisi kali ini ditutup dengan tulisan dari Ario Sasongko mengenai analisis film Dead Poets Society berdasarkan prinsip pengulangan melalui kajian psikoanalisis.
Selamat membaca dan menemukan penafsiran lain terhadap teknologi dan teknis bercerita dalam medium audio-visual.
Klik untuk Full Issue.
-
Mitos dalam Film dan Televisi
Vol. 9 No. 1 (2017)Mitos adalah sesuatu yang terus-menerus mengiringi manusia sejak zaman dahulu kala, kini, dan entah sampai kapan. Sebagai sebuah kreasi budaya, kehadirannya sangat dibutuhkan karena berbagai alasan maupun fungsi. Jika dulu mitos menjadi sangat terkait dengan kisah-kisah dewata dan manusia luar biasa lainnya, kini ia berubah wujud menjadi teknologi, iklan, film, televisi, dan berbagai produk kebudayaan kontemporer lainnya. Bagi Roland Barthes, mitos penuh dengan tipu daya karena seolah-olah menampilkan ideologi dan sistem nilai yang alamiah, meski faktanya tidak lain hanyalah perspektif tertentu yang mengekspresikan intensi dari pendongeng, ulama, seniman, wartawan, pembuat film, dan politikus.
Jurnal IMAJI kali ini berusaha menyoroti persoalan mitos dalam medium audio-visual, seperti film dan televisi, melalui berbagai tulisan. Diawali dengan tulisan dari Arturo Gunapriatna yang membahas film hantu sebagai mitos dalam perkembangan masyarakat urban di Indonesia, Bintang Bayangkari kemudian berusaha untuk melakukan analisis tekstual terhadap mitos Islam pada film-film religi Indonesia, lalu Bawuk Respati membahas berbagai persoalan tentang mitos dan fenomena bintang dalam film, serta Satrio Pamungkas yang ingin membongkar mitos rating-share di industri televisi. Selain tulisan-tulisan tersebut, ada pula artikel tentang aspek gaya film dari Danu Murti, yang mengangkat bahasan tentang metode dan dimensi penyuntingan pada tiga buah film klasik dari Oliver Stone, serta terakhir, Julita Pratiwi mengkaji lebih jauh secara historis tentang persoalan evolusi ruang ketajaman imaji visual, mulai dari lukisan, foto, sampai film.
Selamat membaca dan mendekonstruksi mitos-mitos lain di sekitar kita.
Klik untuk Full Issue.
-
IMAJI
Vol. 8 No. 1 (2016)Jurnal IMAJI mewadahi kumpulan berbagai topik kajian film/audio visual yang berisi gagasan, penelitian, maupun pandangan kritis, segar, dan inovatif mengenai perkembangan fenomenal perfilman khususnya dan audio visual pada umumnya. Jurnal ini bertujuan untuk memberikan sumbangan penelitian terhadap medium film serta audio visual yang diharapkan dapat mendorong perkembangan perfilman, termasuk fotografi, televisi dan media baru di Indonesia, agar menjadi unggul dan kompetitif di tingkat nasional dan di dunia internasional.
Klik untuk Full Issue.
-
IMAJI
No. 5 (2009)Jurnal IMAJI mewadahi kumpulan berbagai topik kajian film/audio visual yang berisi gagasan, penelitian, maupun pandangan kritis, segar, dan inovatif mengenai perkembangan fenomenal perfilman khususnya dan audio visual pada umumnya. Jurnal ini bertujuan untuk memberikan sumbangan penelitian terhadap medium film serta audio visual yang diharapkan dapat mendorong perkembangan perfilman, termasuk fotografi, televisi dan media baru di Indonesia, agar menjadi unggul dan kompetitif di tingkat nasional dan di dunia internasional.
-
IMAJI
No. 4 (2008)Jurnal IMAJI mewadahi kumpulan berbagai topik kajian film/audio visual yang berisi gagasan, penelitian, maupun pandangan kritis, segar, dan inovatif mengenai perkembangan fenomenal perfilman khususnya dan audio visual pada umumnya. Jurnal ini bertujuan untuk memberikan sumbangan penelitian terhadap medium film serta audio visual yang diharapkan dapat mendorong perkembangan perfilman, termasuk fotografi, televisi dan media baru di Indonesia, agar menjadi unggul dan kompetitif di tingkat nasional dan di dunia internasional.
-
IMAJI
No. 3 (2007)Jurnal IMAJI mewadahi kumpulan berbagai topik kajian film/audio visual yang berisi gagasan, penelitian, maupun pandangan kritis, segar, dan inovatif mengenai perkembangan fenomenal perfilman khususnya dan audio visual pada umumnya. Jurnal ini bertujuan untuk memberikan sumbangan penelitian terhadap medium film serta audio visual yang diharapkan dapat mendorong perkembangan perfilman, termasuk fotografi, televisi dan media baru di Indonesia, agar menjadi unggul dan kompetitif di tingkat nasional dan di dunia internasional.
-
Dimana Posisi Kritik Sinema Indonesia?
No. 2 (2006)Slogan-slogan Ayo Membaca seringkali membuat kerut dahi, bahkan seringkali tak disentuh tindakan sarna sekali, terutama oleh masyarakat non-pembaca (baca; malas membaca). Alasan tidak tersedianya buku, harga yang mahal ataupun sulitnya menemukan buku termasuk karena langka dan sebagainya, menjadi dalih yang membuat bahasa tulisan kerap hanya sebagai pengisi halaman buku, majalah, jumal, terutama jika sudah mengklaim sebagai "sesuatu yang ilmiah".
Lain lagi ketika mulai membaca, tulisan yang terpapar terlalu "berat" untuk dicerna bahkan untuk sekedar dipahami, akan dibuang jauh-jauh oleh masyarakat yang memang kondisinya belum berkeinginan untuk menjadi "pintar".
Hal-hal tadi mungkin problem yang cukup mendasar dalam membiasakan diri untuk membaca , apapun bentuknya, buku, surat kabar, majalah, ataupun sekedar kertas pembungkus yang ditemui di sembarang jalan.
Fakultas Film dan Televisi IKJ yang konon banyak melahirkan "pekerja" film, dan nyatanya berhasil di "dunia kreatif' film dan televisi, seharusnya bisa melebarkan konsep akademisnya. Dengan kegemilangan hasil Festival Film Indonesia 2005 dimana hampir semua lulusan fakultas ini memperoleh penghargaan tertinggi semacam kategori film terbaik (GIE -Sutradara Riri Riza), sutradara terbaik (Hanung Bramantyo), sinematografi terbaik (Yudi Datau) , editor terbaik (Yoga K. Koesprapto), penata suara terbaik (Asifa Nasution dan Adi Molana), film dokumenter terbaik (IGP Wiranegara) dan sebagainya, konsep akademis "menciptakan pekerja" film yang bermutu barangkali bukan menjadi target utama.
Sudah saatnya dalam mengiringi keberhasilan "kerja membuat film", para lulusan fakultas ini kelak sanggup juga "membaca film" artinya dengan perangkat teori teori dan analisa kritis yang dimilikinya, film bukan lagi ditempatkan sebagai media elektronis semata, tapi bisa menjadi sebuah konsep budaya dan bisa didiskusikan secara ilmiah. Langkah awal dengan membuka program S2 di Fakultas Film dan Televisi IKJ dalam waktu dekat ini barangkali patut didukung.
Dalam jumal ini kami mencoba menawarkan pembaca (siapapun) untuk berpikir dan melepaskan beban-beban dan asumsi untuk "berkeberatan" membaca. Dengan tema-tema terkini dan bahasa tulisan (bahkan nyaris dialogis), para penulis berupaya berbahasa dengan tulisan dan berdialog secara imajinasi dengan pembaca, sekaligus membawa "sesuatu yang ilmiah" Untuk itulah jumal ini dinamakan IMAJI.
-
Antara Melihat dan Membaca
No. 1 (2005)Belajar di Fakultas Film dan Televisi-IKJ artinya mempelajari proses visualisasi, bagaimana caranya bahasa visual kita dipahami orang – syukur-syukur dalam konteks ‘seni’, dikagumi pula. Maka segala kibul untuk membuat orang percaya dan kagum kepada cara berbahasa visual, tentang apa yang disampaikan pula tentu, dipelajari sekian semester. Segala macam trik kibul mengibul diterjemahkan ke dalam sejumlah mata kuliah untuk dipelajari dan diterapkan, supaya bisa bicara dengan bahasa visual itu secara komunikatif, minimal untuk mencari nafkah.
Tapi apakah yang berada di dalam kelas itu saja cukup ? itu persoalan pertama. Kedua, apakah cukup mempelajari yang visual saja, dan tidak perlu menyentuh yang tertulis – meskipun itu tulisan tentang bahasa visual?
Visualisasi adalah proses kebahasan, dan apabila seseorang berbahasa sebenarnya berlangsung representasi isi kepala : nah, kepala kita masing-masing ini apakah isinya? Dunia komunikasi visual Indonesia, celakanya, lebih sering menunjukkan kekosongan isi kepala ketimbang petunjuk bahwa kepala itu berisi. Apabila mata kita sudah melek tiap hari melahap segala sesuatu yang visual, tapi kepala kita tetap kosong karena tak pernah mengolahnya, barangkali sudah tiba waktu untuk mengisinya dengan sesuatu yang tidak kasat mata, tapi bisa dibaca, seperti pemikiran, tentang yang visual juga.
Maka jurnal ini bernama Imaji-menampung pemikiran Puan dan Tuan tentang segala persoalan dalam wacana visual: film, televisi, fotografi. Apapun yang berhubungan dengan budaya (audio) visual. Dibagikan cuma-cuma kepada mahasiswa agar mereka membaca dan berpikir tentang segala sesuatu yang dipelajarinya.
Syukur-syukur Puan dan Tuan Mahasiswa akan menuliskan pemikirannya pula. Kita semua memang harus mengasah kepala supaya tetap berpikir bukan? Supaya otak kita jangan sampai lumutan-dan bisa lulus tanpa predikat kasihan.