Vol. 14 No. 1 (2023): Antara Struktur dan Bahasa Visual

					View Vol. 14 No. 1 (2023): Antara Struktur dan Bahasa Visual

Tanggal 30 Maret 1950, Usmar Ismail dengan uang pesangon dari dinas ketentaraan Indonesia waktu itu, lantas membuat film Darah dan Doa (The Long March) (1950), kisah royan revolusi atau rasa ketidakpuasan tentara dengan posisi mereka setelah Indonesia merdeka di tahun 1945. Usmar kemudian mendirikan studio Perfini dan membuat film-film dengan tema serupa, seperti Lewat Djam Malam (1954). Hampir-hampir pernah mengalami kesulitan pendanaan untuk menyelesaikan filmnya secara total.

Namun yang perlu disoroti adalah idealisme dari seorang Usmar Ismail yang secara sepenuh hati pindah ke dunia ekspresi yang penuh tantangan karena film impor India, Malaysia dan Amerika Serikat sudah mulai mewabah di Indonesia.

Hal yang menarik bahwa dari film Usmar Ismail ini yang berjudul Darah dan Doa (The Long March) (1950), selain kru nya film-film Indonesia, Usmar juga mempermasalahkan masalah-masalah orang Indonesia dengan persoalannya. Dalam konteks ini adalah revolusi kemerdekaan berakhir banyak yang mengalami kecewaan tentang masa depan mereka sebagai tentara.

Namun idealismenya tak bertahan lama karena menghadapi kenyataan pasar yang lebih mengapresiasi film-film komersial. Bagaimanapun, Usmar Ismail pada akhirnya dijuluki “bapak perfilman” dan tanggal 30 Maret diperingati sebagai hari film nasional.

Patut dicatat Hari Film Nasional di tahun ini penyelenggaraannya sungguh meriah, melalui Badan Perfilman Indonesia, menyelenggarakan tajuk berjudul “Wajah Film Nasional” dengan 13 topik membicarakan permasalahan -permasalahan perfilman di Indonesia. Setidaknya kegiatan tersebut adalah salah satu bentuk partisipasi aktif dan kritis dari level permasalahan produksi hingga terkait kebijakan bagi insan perfilman untuk mendorong pemerintah Indonesia agar terus mendukung kegiatan-kegiatan perfilman di Indonesia.

Maka, melalui semangat Hari Film Nasional, edisi Jurnal IMAJI kali ini juga tidak kalah menariknya; Hery Sasongko membahas struktur visual dari penyeleksian jukstaposisi shot dan editing dari film eksperimental Sweet Ravana (2017). Lalu, Diva Eureka membahas adegan Apple Strudel dalam film Inglourious Basterds (2009) Shot-shot yang ada di dalam adegan Apple Strudel tidak hanya bermakna seperti yang terlihat saja, tetapi memiliki makna konotatif baik secara paradigmatik maupun sintagmatik yang ia analisis menggunakan pendekatan semiotika film dari Christian Metz.

Selain itu, Hari Suryanto berusaha menjelaskan mengenai hubungan antara film dan kebudayaan lokal dalam merangkai karakteristik nasionalitasnya melalui film Setan Jawa (2017). Sementara Satyani Adiwibowo berusaha mengetahui nuansa warna film mana yang nyaman ditonton oleh anak-anak dengan spektrum autisme melalui film Coco (2017) dan Frozen (2013). Selanjutnya, Esra Tampubolon dan Hibatullah Billy berusaha memperlihatkan temuan-temuan kritis terhadap penggayaan mise-en-scene dari karya yang dibuat oleh penulis yakni film Pion (2021). Dan Terakhir Tri Widyastuti berusaha menganalisis film horor, ia menganggap bahwa mengapa film horor sering menjadi film yang laris, bahkan meraup box office. Ketika Indonesia dilanda pandemi Covid-19, film horor pun tetap menjadi tontonan yang digemari.

Selamat membaca dan semoga kebijakan-kebijakan film makin mendukung kemajuan perfilman nasional.

Dr. Marselli Sumarno M.Sn
Ketua Redaksi
Jurnal IMAJI: Film, Fotografi, Televisi, dan Media Baru

Klik untuk Full Issue.

Published: 2023-04-10

Articles