Vol. 15 No. 1 (2024): Arsip, Wacana Visual & Film Eksperimental

					View Vol. 15 No. 1 (2024): Arsip, Wacana Visual & Film Eksperimental

Hari Film Nasional merupakan hari yang begitu istimewa bagi insan perfilman Indonesia. Dalam merayakan suasana tersebut, IMAJI edisi kali ini menawarkan beragam wacana menarik terkait isu perfilman secara khusus dan audio-visual secara umum, yaitu melalui tajuk yang berjudul Arsip, Wacana Visual, dan Film Eksperimental. Arsip, wacana visual, dan film eksperimental merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan saling memperkaya. Arsip menyediakan sumber daya untuk penelitian dan wacana visual, wacana visual membantu menginterpretasi dan memahami arsip, dan film eksperimental merupakan bentuk ekspresi visual yang dapat dianalisis dan dikaji dalam wacana visual.

Dalam IMAJI edisi kali ini, Muhammad Rivai Riza mengeksplorasi konsep organisme sosial milik Auguste Comte dan relasinya terhadap pengarsipan film-film Teguh Karya. Ia berusaha meninjau fungsi sosial dari praktek budaya perfilman Indonesia melalui institusi seperti Sinematek Indonesia pada kegiatan pengarsipan salah satu film karya sutradara bernama Teguh Karya (1937 - 2001) berjudul Wajah Seorang Laki-Laki (1971). Di sisi lain, Martinus Eko Prasetyo bersama Theofilus Liu berusaha menganalisis aspek film secara estetika dari sisi karakterisasi, spectacle, elemen audio, komposisi dan angle kamera. Aspek tersebut adalah upaya para pembuat film dalam membangun emosi audiens yang begitu mendalam dan ini menjadi alasan bagaimana film Miracle In Cell No. 7 sukses menghadirkan hiburan yang terus dibicarakan oleh audiens hingga hari ini.

Berikutnya, Kusen Dony Hermansyah yang membedah film berjudul Short Cut. Sebuah film yang bercerita tentang kelihaian seorang barber yang sedang memotong rambut seorang perempuan. Film tersebut dibedah melalui pendekatan hermeneutika radikal milik Jacques Derrida. Penggunaan teori tersebut menegaskan untuk tidak menilai seseorang dari penampilannya. Sementara Budi Dwi Arifianto bersama Zein Mufarrih Muktaf dan Silmy Mauli menawarkan wacana bahwa film dapat berfungsi sebagai literasi bencana di Desa Sumber, Magelang, Indonesia. Wacana ini datang berkat Isu resiliensi yang menjadi isu yang sangat penting pada Pengurangan Risiko Bencana di era sekarang ini. Mereka menemukan bahwa proses PEA (Produksi-Eksebisi-Arsip) melalui pendekatan video bisa dilakukan sebagai salah satu cara dalam membangun literasi kebencanaan. Hanya saja model pendekatan pengarsipan masih jauh dari yang diharapkan. Maka saran selanjutnya adalah mendiskusikan kembali pentingnya pengarsipan sebagai aset pengetahuan warga dalam upaya pengurangan risiko bencana.

Ary Prama Saputra mempertanyakan apakah ritme dan pace film hanya untuk sekedar membuat irama tanpa arah dan fungsi? Sebab keberadaan ritme editing film harus bisa bersinergi dengan naratif film nya. Karena arahan bentuk ritme yang salah dari editing akan fatal dampaknya bagi film. Apalagi jika tatanan elemen naratif film mengarah ke genre tertentu yang pasti mengerucut jadi sebuah konvensi. Oleh karena itu, Ary Prama Saputra berusaha membedah penggunaan ritme editing pada film komersial Indonesia dengan genre tertentu yaitu film horor melalui dua film yang berjudul KKN Di Desa Penari (2022) dan Wanalathi (2022). Terakhir, Sito Fossy Biosa bersama Eka Wahyu Primadani dan Waret Khunacharoensap mengkaji hubungan homo ludens dan seni abjek pada film eksperimental yang berjudul Pink Pastel.

Selamat Membaca dan Selamat Merayakan Hari Film Nasional!

Dr. Marselli Sumarno M.Sn
Ketua Redaksi
Jurnal IMAJI: Film, Fotografi, Televisi, dan Media Baru

Klik untuk Full Issue.

Published: 2024-03-31

Articles