Vol. 14 No. 2 (2023): Fotografi, Riwayatmu Hingga Kini
Seiring dengan kecepatan perkembangan era digital, seni fotografi ikut melesat ke depan dan juga melahirkan berbagai konsekuensi estetis maupun etisnya. Baru-baru ini perkembangan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan telah memasuki bidang fotografi. AI dalam fotografi memiliki pengaruh yang cukup signifikan, kehadiran AI tersebut dipercaya dapat meningkatkan kualitas gambar, menghadirkan objek secara lebih baik dan akurat, fokus otomatis dan lain-lain. Kemudahan-kemudahan ini tak mungkin diabaikan, pilhan praktis tentu jadi hal yang paling solutif.
Namun, jika wacana tersebut kita tarik pada sebuah distingsi antara manusia dan mesin, lalu bagaimana jadinya? Dalam konteks fotografi, terdapat beberapa perbedaan antara manusia dan mesin (kamera) dalam hal ini kehadiran Artificial Intelligence (AI). Pertama, kemampuan kreatifitas. Fotografi adalah seni, dan manusia memiliki kemampuan kreatifitas yang sangat kuat. Seorang fotografer dapat mengandalkan visi artistik dan emosi untuk mengambil gambar yang unik dan bermakna. Fotografer dapat memilih sudut pandang, komposisi, dan pencahayaan untuk menciptakan karya yang mendalam dan mengesankan. Berbeda dengan AI, meskipun kamera saat ini semakin pintar dengan teknologi canggih, mesin biasanya bekerja berdasarkan algoritma dan pola yang telah diprogram sebelumnya. AI tidak memiliki daya cipta, inspirasi, atau perasaan seperti manusia. Mesin hanya bisa menghasilkan gambar berdasarkan instruksi yang diberikan kepada mereka.
Kedua, Interpretasi Subjek. Fotografer memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan subjek dan momen dengan cara yang unik. Mereka dapat menggambarkan emosi, keindahan, atau pesan tertentu melalui foto mereka dan menciptakan hubungan empati dengan subjek atau orang yang difoto. Fotografer juga mampu menangkap momen-momen yang tidak terduga atau spontan yang mungkin tidak dapat diperkirakan oleh AI. Sementara AI memandang kamera sebagai interpretasi yang terbilang terbatas dan mungkin kurang mendalam daripada yang bisa dilakukan oleh seorang fotografer.
Tentu saja persoalan ini masih banyak memerlukan diskusi untuk mencari terobosan-terobosan pemikiran. Sementara Jurnal IMAJI Vol. 14 No. 2 Edisi Juli Tahun 2023 berfokus pada persoalan fotografi yang nampaknya sederhana tetapi tetap menarik untuk di wacanakan, yaitu menyangkut tata cahaya, penceritaan dan ekspresi. Erlan membahas Kekuatan naratif pada salah satu karya fotografi dokumenter Oscar Motuloh terutama pada peristiwa Reformasi 1998 di Indonesia dan tumbangnya rezim Orde Baru. Lalu, Ardiansyah Romadhoni membahas pentingnya diskursus foto jurnalistik ditengah arus kecepatan internet dalam menyampaikan informasi.
Selain itu, Erchlish Alfarozi membedah unsur-unsur dalam pencahayaan/lighting dalam dunia fotografi terutama yang berkaitan dengan foto konsep human interest. Sementara, Ferdiansyah membahas persoalan peran still photography dalam sebuah produksi film yang bereksperimen dengan berbagai type of shot, komposisi, dan pencahayaan, dalam konteks penekanan dari sebuah imaji dan dibahas lewat pemaknaan denotasi dan konotasi. Di sisi lain, Riva Amalia Fasiha membahas gagasan seorang seniman terhadap karya yang diciptakan merupakan sebuah ekspresi dari seorang seniman sehingga dapat menyampaikan sebuah cerita yang divisualisasikan melalui foto.
Terakhir, Nurbaiti Fitriyani membahas film Ca-bau-kan (2002) yang disutradarai oleh Nia Dinata dengan tujuan untuk mengetahui kebaruan, khususnya pada karya adaptasi yang sebelumnya berangkat pada novel yang berjudul sama Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa (1999) karya Remy Sylado. Pembicaraan ihwal adaptasi, sejauh ini masih sebatas perihal fidelitas sebuah film terhadap karya sastra yang diadaptasi. Hal tersebut memang tidak bisa ditampik karena mengadaptasi pada akhirnya juga akan menghasilkan perbandingan antara film dan sastra, apalagi film dan sastra memiliki wahana yang berbeda: film disampaikan melalui audiovisual, sedangkan sastra dengan verbalisasinya, yakni kata-kata, sehingga menimbulkan proses interpretasi yang berbeda pula.
Di rubrik wawancara kami menghadirkan Oscar Motuloh, seorang jurnalis terkemuka Indonesia. Seseorang yang mendedikasikan hidupnya ke dunia fotografi melalui aktivitas di kantornya maupun lapangan dengan penuh gairah.
Selamat membaca dan salam fotografi.
Dr. Marselli Sumarno M.Sn
Ketua Redaksi
Jurnal IMAJI: Film, Fotografi, Televisi, dan Media Baru
Klik untuk Full Issue.
Articles
-
Studium Punctum dalam Karya Fotografi Dokumenter Oscar Motuloh pada Reformasi 1998
- PDF (Bahasa Indonesia) | Abstract views: 358 times | PDF downloaded: 319 times
-
Pengertian Fotografi Jurnalistik Pada Media Online
- PDF (Bahasa Indonesia) | Abstract views: 1088 times | PDF downloaded: 4248 times
-
Penggunaan Lighting Dalam Fotografi Konseptual Human interest
- PDF (Bahasa Indonesia) | Abstract views: 2115 times | PDF downloaded: 1024 times
-
Peran Still Photographer dalam Ruang Lingkup Pembuatan Film
- PDF (Bahasa Indonesia) | Abstract views: 784 times | PDF downloaded: 157 times
-
Berkarya dan Bercerita Melalui Fotografi Ekspresi
- PDF (Bahasa Indonesia) | Abstract views: 871 times | PDF downloaded: 1378 times
-
Transposisi dan Substitusi Dialog dalam Film Adaptasi Studi Kasus Film Ca-Bau-Kan (2002) Karya Nia Dinata Berdasarkan Novel Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa (1999) Karya Remy Sylado
- PDF (Bahasa Indonesia) | Abstract views: 253 times | PDF downloaded: 192 times
Interview
-
Wawancara: Oscar Motuloh
- PDF (Bahasa Indonesia) | Abstract views: 263 times | PDF downloaded: 207 times