Vol. 10 No. 1 (2018): Teknologi dan Storytelling dalam Medium Audio-Visual
Berbeda dengan lukisan, film dan fotografi merupakan hasil mekanisme optik. Proses penciptaan imajinya melibatkan hukum-hukum cahaya. Ketika perekaman gambar berlangsung, kamera menangkap sebuah objek dan keberadaan lensa mempercepat jalannya proses tersebut. Kamera, lensa, dan bahan baku (dalam periode analog) adalah beberapa teknologi prasyarat dalam proses penciptaan imaji sinematik dan fotografi. Keberadaan teknologi dan peralatan-peralatan dasar itu, sangat menentukan eksistensi dari film dan fotografi. Berbagai peralatan dan mesin audio-visual yang dirancang melalui presisi teknis secara ilmiah kerap dipandang sebagai sesuatu yang netral. Bahkan, mereka cenderung dilihat sebagai sesuatu yang bebas nilai. Pengusung teori film realis seperti Andre Bazin bahkan memiliki keyakinan bahwa imaji visual dari film dan fotografi memiliki karakteristik yang unik, persis karena keterlibatan mekanisme optik yang menyebabkan imaji visual dari kedua medium bersifat objektif.
Namun klaim objektif terhadap teknologi tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang natural dan alamiah semata. Jean Louis Comolli, yang merupakan salah satu pemikir film yang berafiliasi pada pemikiran Marxisme, melihat tendensi ideologis muncul karena setiap konstruksi apapun selalu melibatkan kepentingan kelas. Begitu pula halnya dengan sains, serta penciptaan peralatan seperti kamera film serta fotografi. Selalu terdapat nilai-nilai tersembunyi di balik sesuatu.
Jurnal IMAJI edisi kali ini berusaha memotret sisi lain dari diskursus teknologi film dan fotografi tersebut, melalui kajian sudut pandang kultural, sosiologis, filosofis, estetis, ideologis, serta politis. Diawali dengan tulisan dari German Mintapradja yang melihat pergeseran dari viewfinder ke monitor, yang mengubah prinsip budaya intip menjadi budaya menonton dalam proses syuting. Berikutnya. Eric Gunawan memperlihatkan wacana teknologi film 3D melalui perspektif filosofis Jean-François Lyotard terkait dialektika teks dan imaji. Lalu, Damas Cendekia berusaha menyelisik mekanisme film sebagai mesin storytelling yang selalu bermain antara konvensi dan dekonstruksi, melalui penelitian atas pelanggaran dan inovasi kaidah surprise pada film Arrival (2016). Kemudian, Mohamad Ariansah, Siti Asifa Nasution, dan Budi Wibawa mengangkat perspektif lain mengenai posisi suara dalam film, dilihat dari sudut pandang fenomenologis terhadap konsep spiritualitas manusia. Selanjutnya, ada pula penelitian Satrio Pamungkas mengenai foto-foto Soeharto sebagai resistensi terhadap sistem orde baru yang represif. Pada akhirnya, jurnal IMAJI edisi kali ini ditutup dengan tulisan dari Ario Sasongko mengenai analisis film Dead Poets Society berdasarkan prinsip pengulangan melalui kajian psikoanalisis.
Selamat membaca dan menemukan penafsiran lain terhadap teknologi dan teknis bercerita dalam medium audio-visual.
Klik untuk Full Issue.
Articles
-
Menelaah Proses Pembuatan Film Sekarang: Hilangnya Budaya Intip
-
Sinema 2D versus 3D
-
Mempertanyakan Surprise Film Arrival (2016)
-
Suara dan Spiritualitas dalam Film
-
Resistensi Orde Baru: Foto Soeharto Tersenyum dan Teks “Pie Kabare? Enak Jamanku To?”
-
Prinsip Pengulangan pada Tokoh John Keating dalam Film Dead Poets Society Karya Peter Weir: Sebuah Kajian Psikoanalisis